Air Mata Kesendirian


Kokok ayam dari kandang tetangga mulai melengking mengisi sunyinya suasana pagi ini. Suara adzan terdengar sayup-sayup dari surau di ujung jalan, membangunkan siapa pun yang masih terlelap dalam tidurnya. Dengan sisa tenaga yang ku miliki, aku menyibakkan selimut yang menutup seluruh bagian tubuhku, lalu membalikkan badan melihat jam yang tergantung di dinding kamar, pukul 4.30, dan aku belum memejamkan mata barang semenit. Sudah hampir sebulan sejak kepergiannya, namun kenangan-kenangan itu terus saja hadir mengisi kekosongan malam bersama dingin angin yang memporak-porandakan hati yang kini hanya tinggal puing-puing.
“Tok… Tok… Tok… Bangun Nak, sudah subuh.” Terdengar suara ibu mengetok pintu kamar ku dari luar.
Dengan sedikit terhuyung, aku berdiri dari ranjang dan melangkah menuju pintu. Dengan tangan sedikit gemetar, aku memegang daun pintu, mengayunkannya ke bawah, lalu menarikya.
“Iya Bu, Laras sudah bangun.” Kataku lirih hampir tidak terdengar olehku sendiri.
“Kau tidak tidur lagi malam ini?” Tanya ibu dengan nada khawatir.
“Tadi Laras sempat tidur kok Bu, meski sebentar.” Aku terpaksa berbohong, karena tak mau membuat ibuku terlalu khawatir.
“Sudahlah Laras, kamu jangan terlalu memikirkan Restu. Kamu juga harus memikirkan kesehatanmu. Ibu yakin Restu tidak akan senang melihatmu seperti ini.” Ibu mulai menasihatiku.
“Laras tidak yakin bisa melupakan Restu dalam waktu dekat ini Bu.” Jawabku pesimis.
“Jika kamu bersikap seperti ini, Restu tidak akan damai di surga sana, Laras. Kamu harus mencoba merelakan Restu.” Kata ibu dengan bijak.
“Akan Laras coba, Bu.” Jawabku singkat.
 “Baiklah. Kamu mau ikut shalat subuh berjamaah di mushala tidak?” Ajak ibu dengan lembut.
“Laras shalat subuh di rumah saja Bu, Laras masih sedikit pusing.”
“Ya sudah, ibu berangkat ke mushala dulu.”
“Iya Bu, hati-hati di jalan.”
Ibu melangkah meninggalkanku yang masih berdiri mematung di ambang pintu. Setelah terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali, aku berjalan ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong rumah untuk mengambil air wudhu. Dinginnya air pegunungan saat aku mulai membasuhkannya ke wajahku menyeruak hingga ubun-ubun. Seharusnya, bulan ini sudah memasuki musim hujan, namun entah mengapa hawa dingin masih membalut desa Sumber Makmur yang letaknya berpuluh-puluh kilo meter dari pusat kota.
            Setelah selesai shalat subuh, aku memutuskan untuk berkeliling di sekitar rumah, barangkali setelah mendapat udara segar, pusing di kepalaku mereda. Bau tanah basah sisa hujan semalam menyeruak menerobos hidung saat aku membuka pintu depan. Aku mulai menyusuri jalan setapak yang menghubungkan desa  Sumber Makmur dengan desa Muda Jaya.
Saat pagi hari, desa yang masih asri ini terlihat mengagumkan. Aku mendongak, melihat ke atas. Awan-awan mulai mencumbu rembulan yang semalam bersinar sangat anggun di tengah hujan yang mengguyur, menyebabkan keanggunan rembulan itu seketika sirna. Kabut putih yang seolah menyelimuti desa, menghalangi mata untuk memandang sang penguasa siang yang mulai menampakkan wajahnya dari balik gunung yang terletak di belakang desa Sumber Makmur. Sepanjang jalan setapak menuju persawahan penduduk, tercium wangian khas kuncup-kuncup melati yang mulai bermekaran.  Burung-burung kecil mulai memperdengarkan nyanyian mereka, mengiringi para petani yang siap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dengan topi ilalang di kepala, cangkul yang tergantung di pundak, sepatu bot selutut, serta pakaian yang seadanya. Di tangannya, mereka terlihat membawa bekal berupa nasi beserta sayur dan kelengkapannya yang dibungkus daun pisang untuk dimakan siang nanti.
“Assalamu’alaikum mbak Laras.” Sapa seseorang dari belakang, membuyarkan keterkagumanku pada desa tempat aku lahir dan dibesarkan ini.
“Wa’alaikumsalam. Eh Pak Ustad, baru pulang dari mushala Pak?” Jawabku sedikit tergagap karena masih kaget.
“Iya Mbak. Mbak Laras apa kabar? Muka Mbak Laras terlihat pucat, apa Mbak  sedang sakit?”
“Tidak kok Pak, saya baik-baik saja. Mungkin karena kurang tidur, makanya muka saya terlihat pucat.” Sanggahku.
“Saya tahu Mbak Laras pasti sedih karena di tinggal Mas Restu. Tapi percayalah, Allah selalu menyiapkan rencana yang hebat dibalik semua kejadian yang tidak diinginkan manusia.” Pak Ustad mencoba memberikan semangat padaku lewat kata-katanya.
“Iya Pak Ustad, Allah pasti telah menyiapkan sesuatu yang indah untuk saya sebagai pengganti Restu.” Kataku dengan terbata, tidak yakin dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Bukannya aku tidak percaya dengan janji Allah yang selalu memberikan sesuatu yang terbaik untuk hambanya, hanya saja saat ini aku berpikir bahwa tidak ada yang bisa menggantikan Restu.
“Ngomong-ngomong Mbak Laras tidak bekerja?” Tanya Pak Ustad mengalihkan pembicaraan.
“Hari ini kebetulan saya libur Pak Ustad, jadi saya memutuskan untuk berjalan-jalan sekedar menyegarkan pikiran saya.”
            “Kalau begitu, silahkan Mbak Laras melanjutkan perjalanannya, saya harus pulang karena saya harus pergi ke kebun. Mari Mbak Laras” Kata pak ustad meminta diri.
 “Iya, mari Pak Ustad.” Jawabku.
            Setelah berhenti sejenak karena bercakap-cakap dengan Pak Ustad, aku melanjutkan perjalananku berkeliling desa. Jalan setapak yang sangat familiar ini terus kususuri hingga sampai ke sebuah pohon besar yang terletak di ujung jalan dekat aliran sungai. Aku memandangi pohon itu dalam diam. Pipiku tiba-tiba terasa hangat. Usahaku untuk melupakan peristiwa sebulan lalu itu sepertinya sia-sia. Peristiwa-peristiwa indah enam tahun terakhir yang kini menjadi kenangan mulai berkelebat dalam pikiran. Semakin aku berusaha membuang jauh, kenangan-kenangan itu justru terlihat makin nyata.
            Aku membuang nafas pelan. Perlahan, aku melangkah menuju pohon besar itu dan duduk di tempat favoritku, akar besar yang menghadap persis ke sungai kecil yang mengairi sawah-sawah penduduk. Gemercik aliran air dari sungai itu sangat menenangkan, membuat siapapun ingin berlama-lama duduk di pingiran sembari berandai-andai. Bibir-bibir angin menyapu permukaan air dan mencium dedaunan yang menyebabknnya jatuh tak berdaya. Di seberang sungai, tampak hamparan sawah milik petani yang terlihat sangat indah, bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti hembusan angin. Segerombolan anak belasan tahun terlihat berlarian di pinggiran sawah, memburu induk-induk burung yang dengan sengaja hinggap di dahan padi dan memetik padi-padi yang mulai menguning untuk di bawa pulang ke sarang mereka.
            Keindahan desa ini ternyata tak mampu mengalihkan ingatanku dari Restu. Restu adalah seseorang yang mengisi hari-hariku selama hampir enam tahun terakhir. Waktu yang bukan lagi singkat untuk saling mengenal lebih dalam dan menumbuhkan perasaan cinta di hati masing-masing. Ceritaku dengan Restu berawal dari bawah pohon tempatku berada sekarang. Saat itu, aku masih berumur tujuh belas tahun dan aku masih duduk di bangku kelas dua belas di salah satu SMA yang ada di kota kecamatan. Hari itu, hujan tiba-tiba turun saat aku dalam perjalanan pulang dari sekolah. Meskipun hujannya tidak begitu deras, tapi bisa membuatku basah kuyup jika aku nekat menerobos hujan. Akhirnya, aku memutuskan untuk berteduh di bawah pohon besar ini. Sembari menunggu hujan mereda, aku membaca komik yang aku pinjam di perpustakaan sekolah saat jam istirahat tadi. Aku semakin larut dalam komik yang sedang aku baca hingga tak menyadari kedatangan seseorang.
            “Hai.” Sapanya dengan hati-hati.
            Aku tergagap karena aku tak sadar jika ada orang lain yang juga berteduh di bawah pohon besar ini.
“Eh. Hai Restu” jawabku sekenanya.
Aku hanya tahu namanya saja dan sepertinya ia tinggal di desa sebelah, karena aku jarang melihatnya. Aku tahu namanya karena aku pernah membaca namanya  yang terjahit di baju seragamnya. Restu tampak kaget karena ternyata aku tahu namanya.
“Aku tahu namamu karena aku pernah membacanya di baju seragammu beberapa hari lalu saat kita berada di bus yang sama.” Aku akhirnya menjelaskan sebelum ia menjadi salah paham.
“Oh begitu, aku kira kamu punya ilmu sihir atau semacamnya dan bisa menebak nama orang.” Kata Restu dengan sedikit senyum yang tersungging di bibirnya. Manis sekali.
“Ah tidak. Aku tidak memiliki ilmu semacam itu.”
“Begitu ya. Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Namaku Laras.”
“Oh, Laras. Nama yang indah.”
Aku sedikit tersanjung denga pujiannya, karena ini kali pertamanya seseorang memuji namaku.
“Terima kasih.”
 “Sedang baca apa? Kelihatannya asik sekali sampai tidak menyadari ada orang yang datang.”
“Aku sedang membaca komik.”
“Kamu suka komik?”
“Aku suka membaca apa saja. Tapi hanya sebatas membaca untuk mencari informasi atau sekedar hiburan.”
Percakapan ku dengan Restu mengalir seperti air, padahal itu kali pertama aku mengobrol dengannya. Tak terasa hujan sudah mulai mereda. Aku bangkit dari tempat dudukku, begitu juga Restu. Jalan menuju rumah kami tidak sama, jadi kami memutuskan untuk pulang sendiri-sendiri.
            Hari demi hari, hubunganku dengan Restu semakin dekat. Pertemuanku dengan Restu terus berlanjut setiap pulang sekolah di tempat ini. Di bawah pohon besar ini, kami bercerita apa saja. Kami tidak bersekolah di SMA yang sama, jadi ada banyak cerita yang bisa kami bagikan. Kadang, karena terlalu asik bercerita, kami sering tidak menyadari bahwa sang surya hampir menenggelamkan wajahnya di ujung barat sana. Seperti kebanyakan pasangan, kami juga memiliki harapan-harapan indah yang hendak kita wujudkan bersama-sama di masa mendatang.
            Hubunganku dengan Restu terus berlanjut. Kami bukan lagi sepasang anak SMA yang sedang merajut tali asmara. Aku telah menjadi perawat di salah satu rumah sakit milik daerah di kota kabupaten dan Restu menjadi pegawai di salah satu bank swasta. Pertengkaran-pertengkaran kecil kadang muncul dalam hubungan kami, tapi kami selalu bisa mengatasinya.
Awal bulan lalu, kami berencana melangsungkan pernikahan. Semua persiapan telah matang. Gedung, gaun pengantin, juru masak dan lain sebagainya telah siap. Tapi siapa sangka, kadang Tuhan memiliki rencana yang tidak sepaham dengan manusia. Di tengah kebahagiaan menjelang hari pernikahan, sebuah kecelekaan menimpa Restu saat hendak pulang dari kerja. Aku yang saat itu sudah berada di rumah tak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Restu, hingga seseorang dengan tergopoh-gopoh datang ke rumahku.
“Laras... Laras… Buka pintunya Laras.” Seseorang terdengar berteriak dari luar. Sepertinya itu Ayu, gumamku dalam hati.
Ibu yang datang membukakan pintu karena aku masih berganti pakaian di kamar.
“Eh, kamu yu. Ada apa?” Tanya ibu heran.
“Selamat sore Bu. Laras ada?” Tanyanya dengan panik.
“Laras masih ganti pakaian di kamar, sebentar lagi mungkin keluar. Nah, itu Laras.” Kata ibu sambil menunjuk ke arahku.
Dengan setengah berlari, Ayu datang menghampiriku. “Laras kamu harus ikut aku sekarang.” Kata ayu sembari menarik tanganku.
Aku masih bingung dengan yang dilakukan Ayu. “Ayu, ada apa? Jangan buat aku bingung.”
“Restu sekarang ada di rumah sakit. Dia baru saja mengalami kecelakaan. Ia terluka parah.” Ayu menjelaskan dengan terbata.
Tanpa banyak bertanya, aku langsung pergi ke rumah sakit dengan Ayu, mengendarai sepeda motor yang di bawa Ayu. Sampai di rumah sakit, dokter terlihat baru saja keluar dari UGD. Dengan pikiran kacau aku menhampiri salah satu dokter itu.
“Bagaimana keadaan Restu, Dok?” Tanyaku penuh khawatir. Aku mengenal baik dokter itu. Ia adalah temanku saat kuliah dulu.
“Maaf Laras. Kami, para dokter telah berusaha sebaik mungkin, tapi sepertinya Tuhan lebih sayang kepada Restu. Sekali lagi kami minta maaf tidak bisa menolong Restu. Kamu harus kuat Laras.” Dokter itu berkata dengan hati-hati.
Seperti ada benda berat yang menghantam kepalaku, tiba-tiba seluruh badanku lemas. Kakiku tak mampu lagi menopang berat tubuhku. Aku terjatuh, menjadi satu dengan lantai. Aku tak tau lagi apa yang terjadi selanjutnya, saat aku sadar aku sudah berada di kamar ku. Aku mulai menangis mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Tak ada lagi Restu yang selama enam tahun terakhir mengisi hari-hariku. Ia telah pergi dengan membawa sepotong hatiku.
Esoknya, aku menyaksikan Restu, orang yang paling aku kasihi dipendam dalam tanah. Aku tak henti-hentinya menangis sepanjang upacara pemakamannya. Orang-orang di sekelilingku hanya bisa diam menatapku iba. Seusai pemakaman, aku merasa kosong dan serasa tak ada lagi sandaran.
            Sorak-sorak anak kecil yang sedang bermain tak jauh dari tempatku duduk membuyarkan lamunanku tentang Restu. Untuk kesekian kalinya, satu bulir air mata jatuh, disusul yang lain, berlomba-lomba membanjiri pipiku. Air mata ini, simbol dari runtuhnya perasaan yang aku pendam dalam diam selama sebulan terakhir. Matahari mulai meninggi saat aku menengadahkan kepalaku. Bias cahayanya memantul di permukaan air membentuk garis-garis pelangi yang sangat indah. Aku beranjak dari tempat dudukku dan melangkah ke jalan setapak yang ku lewati tadi. Jam di dinding menunjukkan pukul 10.00 saat aku sampai rumah. Saat di rumah, aku hanya duduk-duduk di teras, melihat lalu lalang orang-orang desa.
            Semburat warna jingga mulai terlihat di kejauhan pertanda gelap akan segera datang. Anak-anak dengan pakaian rapi dan tertutup kerudung serta membawa muskhaf kecil melintas di jalan depan rumah. Mereka sepertinya baru pulang dari mengaji di rumah pak ustad. Aku dulu juga mengaji di sana saat aku masih kecil.
Saat hari mulai gelap, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang. Nyanyian hewan-hewan malam mulai terdengar, mengiringi orang-orang desa yang hampir terlelap karena lelah bekerja seharian. Aku membenamkan wajahku dalam-dalam. Seharian ini aku telah menahan semua bentuk luka batin yang membuahkan air mata. Malam semakin larut, angin memaksa masuk lewat celah-celah jendela kamar dan menusuk tulang-tulang rusukku. Dingin seketika menyergap diriku. Aku meninggikan selimutku hingga leher, meringkuk hingga lututku hampir menyentuh hidung. Air mata kembali menetes. Meski air mata ini  terasa hangat, namun tiap bulirnya dapat membekukan hatiku. Dingin terus menjilat, merambati tubuhku. Aku terisak pelan. Meskipun sudah memutuskan untuk mencoba merelakan kepergian Restu, tapi kenangan-kenangan dengan Restu terus saja muncul dalam langit-langit kamar, di dinding-dinding kamar, dan di bagian kamarku yang lain, membuat ku tak dapat memejamkan mata.
Tak tahan dengan semua ini, aku kembali bangkit dari ranjang, berjalan ke arah jendela, lalu membukanya, menantang angin malam yang hadir dengan tenaga berkali lipat kuatnya. Aku duduk dalam lindap bayang-bayang pohon yang tumbuh di samping kamar. Dengan tatapan sayu, aku membiarkan mataku memandang sekeliling. Rembulan bersinar begitu terang ditemani bintang-bintang yang bersinar sama terangnya seolah-olah sedang mengejekku. Tidak seperti mereka, malam ini aku sendirian. Benar-benar sendirian. Lubang dalam hatiku menganga lebar. Semakin perih saat angin mulai membelai tubuhku.

Aku menundukkan wajahku, air mata kembali menetes saat wajah Restu kembali terngiang. Samar-samar, aku seperti mendengar suara Restu bersama gemercik air di belakang rumah. Rasanya aku hampir gila. Aku mengutuk diriku sendiri karena tak bisa melupakan Restu. Aku yakin Restu tidak menginginkan ku berada dalam kondisi seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Waktu terasa kosong tanpa kehadiran Restu. Semakin hari menggigitku tanpa henti. Rindu akan kehadirannya merayap lambat ke ulu hati, hingga sepinya malam mencengkeram terasa mati. 

Komentar

  1. Did you realize there's a 12 word phrase you can say to your crush... that will trigger deep emotions of love and instinctual appeal for you buried inside his chest?

    That's because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, adore and protect you with all his heart...

    12 Words Will Fuel A Man's Desire Response

    This instinct is so hardwired into a man's genetics that it will drive him to work harder than before to make your relationship as strong as it can be.

    Matter of fact, triggering this powerful instinct is so binding to achieving the best possible relationship with your man that the moment you send your man one of the "Secret Signals"...

    ...You will soon find him expose his soul and heart to you in a way he haven't experienced before and he will distinguish you as the only woman in the galaxy who has ever truly understood him.

    BalasHapus

Posting Komentar